Dalam dunia
kesusastraan Indonesia, siapa yang tidak mengenal sosok Willibrordus Surendra
Bawana Rendra atau yang lebih akrab dikenal dengan sebutan W.S. Rendra.
Sastrawan yang sejak duduk di bangku SMP telah menulis berbagai macam karya
sastra; seperti puisi, cerita pendek, serta naskah drama. Dari sekian banyak
karya sastra yang ia tulis, terutama karya drama, salah satu naskah W.S. Rendra
yang fenomenal adalah naskah Mastodon dan Burung Kondor.
Naskah ini pertama kali
dipentaskan oleh Bengkel Teater Yogyakarta pada 15 Desember 1973 yang
berdasarkan pada naskah yang belum diterbitkan dan tersimpan di Bank Naskah
Dewan Kesenian Jakarta dan disutradai sendiri oleh sang sastrawan. Namun, pada
Januari tahun 2012 naskah drama ini kembali dipentaskan di Universitas
Padjajaran dan disutradai langsung oleh istri mendiang W.S. Rendra, Ken Zuraida.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), istilah Mastodon sendiri memiliki arti binatang purba
yang merupakan mamalia raksasa, sesuatu yang serba besar. Hal ini dijadikan
Rendra sebagai umpama atas pemerintahan di negara tersebut yang selalu berkata akan
mengatasnamakan kepentingan rakyat untuk pembangunan negara namun kenyataannya
tidak sesuai. Sedangkan burung Kondor sendiri memiliki arti burung buas besar
di pegunungan Andes dengan leher dan kepala tidak berbulu. Dalam naskah ini,
burung Kondor dijadikan sebagai simbol rakyat negara tersebut yang menderita
akibat terkekang aturan dan kebijaksanan yang dibuat oleh pemerintah. Dua hal
yang digambarkan saling bertentangan dan berbeda ideologi.
Dalam naskah ini, diceritakan
seorang mahasiswa bernama Juan Frederico yang penuh dengan idealisme, bersama
dengan rekan-rekannya sesama mahasiswa bertekad untuk melakukan perubahan terhadap
bangsanya. Mereka menentang sistem pemerintahan yang ada dinegaranya, sistem
yang hanya menguntungkan kalangan atas namun terus-menerus menggadangkan
kesejahteraan bersama demi pembangunan. Lebih lanjut, Juan Frederico bersama
rekan-rekannya menyusun strategi dengan merekrut Jose Karosta untuk melakukan
aksi untuk menjaga semangat massa dengan membuat sajak-sajak dan syair pergerakan.
Juan Frederico
mengkritik bahwa selama ini kampusnya hanya mendidik untuk mencetak generasi
yang hanya manut pada sistem dan kebijaksanaan pemerintah dan tidak diberikan
kebebasan mengkritik untuk hal yang lebih baik kedepannya, pemerintah malah menganggap
itu sebagai sebuah ancaman dan pemberontakan. Di kampus tidak pernah diajarkan
nilai-nilai untuk menyusun kebijakan, mengolah kebijakan, serta menguji
kebijaksanaan. 3 hal yang dapat membuat kalangan mahasiswa menjadi pandai
mengkritik dalam hal yang positif untuk kedepannya. Kebebasan berpendapat pun
tidak dihiraukan. Maka dari itu, Juan Frederico bersama rekan-rekannya sesama
mahasiswa yang berasal dari berbagai provinsi, menjadi utusan dari rakyat
sebagai wakil pendobrak revolusi kekuasaan di negaranya.
Salah satu orang
dibalik kekuasaan pemerintahan adalah Max Carlos, yaitu seorang pemimpin yang
tengah berada dalam masa jayanya. Kejayaan yang harus dibayar dengan
penderitaan dan kekacauan rakyat jelata. Pembangunan pabrik yang diusulkan akan
mengurangi jumlah pengangguran, tak khayal hanya sebuah pemanis bibir belaka. Diceritakan
bahwa Max Carlos menangkap dan memenjarakan Jose Karosta dengan alih-alih
karena Jose Karosta telah mengganggu semangat berjuang untuk pembangunan dengan
sajak-sajak dan syair yang dibuatnya.
. Jose
Karosta merupakan sosok yang dengan keras menolak adanya lembaga-lembaga agama
yang hanya menjadi lahan bisnis dibalik sabda-sabda agung yang diujarkan. Sosok
Jose Karosta merupakan salah satu dari simbol burung Kondor yang menjadi saksi
atas kekacauan yang terjadi di negaranya. Dengan sajak-sajak dan syairnya, ia
menawarkan nilai-nilai kemanusiaan untuk mengobarkan semangat dan membuat ‘melek’ masyarakatnya tentang kesadaran
agar seluruh masyarakat sadar atas apa yang terjadi di negaranya. Tidak diam
saja dan lantas bergerak menuju perubahan.
Lebih lanjut,
terjadinya perbedaan pendapat antara Jose Karosta dengan Juan Frederico. Jose
Karosta mengatakan bahwa yang harus dimiliki masyarakatnya adalah kematangan
kesadaran akan sebuah perubahan. Revolusi memang penting, tapi awal mulanya
harus didahului dengan kesadaran mutlak oleh seluruh masyarakat. Menurutnya,
revolusi dapat mengakibatkan kerugian besar baik di bidang ekonomi maupun
sosial. Seperti terjadinya kerusuhan di mana-mana, tempat tinggal masyarakat
yang habis ditelan si jago merah, ketakutan di sana-sini, lumpuhnya sebagian
sumber penggerak perekonomian masyarakat, dan lain sebagainya. Hal itu menjadi
bayaran yang tidak sepadan untuk sebuah revolusi karena dibutuhkan waktu yang
lama untuk membuat semua kembali ke kehidupan normal kembali.
Lain halnya dengan Juan
Frederico yang menganggap bahwa yang dibutuhkan negara mereka saat ini adalah
sebuah revolusi. Revolusi menjadi satu-satunya pilihan yang tepat untuk membawa
perubahan bagi bangsanya ke arah yang jauh lebih baik lagi. Juan Frederico dan
rekan-rekannya sesama mahasiswa menamakannya dengan sebutan Revolusi Semesta
Bersatu.
Walaupun naskah ini
telah dibuat lebih dari 40 tahun silam, namun penceritaannya masih sangat relevan
dengan keadaan bangsa Indonesia pada saat ini. Cerita Mastodon dan Burung
Kondor seakan-akan menjadi cerminan atas apa yang tengah terjadi di Indonesia.
Dialog-dialog yang terpampang dalam naskah tersebut merupakan teguran kepada
para penguasa pemerintahan agar lebih peka terhadap segala sesuatu yang
dirasakan oleh rakyatnya. Seperti pada Mei tahun 1998, Indonesia mengalami
penggulingan kekuasaan karena kekecewaan rakyat Indonesia terhadap sistem
pemerintahan pada zaman tersebut. Krisis moneter yang terjadi, korupsi yang
semakin menjalar, tingkat kesejahteraan yang kian hari makin menyedihkan, dan
lain sebagainya. Sebuah peringatan besar terhadap orang-orang pemerintahan agar
benar-benar memperjuangkan kesejahteraan seluruh rakyat yang diwakilinya.
eh *penting ga sih komen gue*
BalasHapuswww.zahrasalsa.com