Haloooo! Entah dapat hidayah dari
mana, tetiba aja aku ingin nulis resensi novel dan pas banget sekarang aku baru
merampungkan sebuah novel karya salah satu penulis Indonesia. Yap! Kali ini aku
mau bahas karya Bernard Batubara dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Metafora Padma.
Kumpulan cerpen Metafora Padma |
Ohiya sebelumnya aku mau sedikit banyak cerita. Sebenernya aku beli novel ini udah cukup lama, tepatnya
tanggal 01 November 2016. Udah lebih dari 6 bulan yang lalu tapi baru dibaca
hahaha (memang, aku pemalas banget huhu). Jadi gini, waktu itu ada olshop buku
yang lagi diskon besar-besaran dan langsung deh aku tertarik buat beli buku di
sana. Awalnya aku bingung mau beli yang mana dan akhirnya aku memutuskan untuk
membeli 10 buku (sombong!) dan 3 di
antaranya adalah buku karya penulis Bernard Batubara yang berjudul Milana (2013), Surat untuk Ruth (2014), dan Metafora
Padma (2016). Kenapa memilih membeli buku Bernard Batubara? Aku sendiri
juga ga ngerti. Nama Bernard Batubara sering aku dengar dari teman-teman
sejawat dan itu membuatku penasaran (penasaran sama bukunya, maksudnya).
Lebih lanjut, dari ketiga buku
itu, cover Surat untuk Ruth-lah yang
paling menyita perhatianku, covernya adalah sehelai kemeja flanel berwarna biru
cerah yang nampak teronggok begitu saja. Maka dari itu aku memutuskan untuk
membaca novel itu lebih dulu. Tapiiii.... sayangnya sangat tidak sesuai
ekspetasiku (Maafkan hamba, ini sekadar pendapat. Siap-siap ditimpuk fans
Bernard Batubara). Singkat cerita, selepas membaca novel Surat untuk Ruth aku jadi kehilangan selera untuk membaca karya Bernard Batubara yang lainnya. Ga percaya? Coba deh kalian baca dan beri secercah ulasan di sini.
Namun entah kenapa hari ini aku
memutuskan untuk membaca karya Bernard Batubara (lagi) yaitu Metafora Padma. Lantas bagaimana dengan
buku ini? Kira-kira sama ga yaaa dengan novel sebelumnya yang aku baca? Hahaha
maaf yaaa kebanyakan prolog. Yuk langsung dibaca resensinya!
Judul : Metafora Padma
Penulis :
Bernard Batubara
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Editor : Siska Yuanita
Desain Sampul :
Eka Kurniawan
Ilustrasi Isi :
Egha Latoya
Tahun Terbit :
2016
ISBN :
978-602-03-3297-0
Tebal Buku :
168 halaman
Buku ini merupakan sebuah
kumpulan cerita pendek yang setidaknya memuat 14 cerita di dalamnya, yakni: Perkenalan, Demarkasi, Gelembung, Hanya Pantai yang Mengerti, Rumah, Obat Generik, Percakapan Kala
Hujan, Es Krim, Alasan, Metafora Padma, Suatu Sore,
Kanibal, Sepenggal Dongeng Bulan
Merah, serta Solilokui Natalia. Seperti
kumcer pada umumnya, Metafora Padma
merupakan judul cerpen kesepuluh yang dijadikan sebagai tajuk buku tersebut.
“Kamu harus tahu, Harumi sayang. Pada zaman ketika kekerasan begitu
mudah dilakukan, hal terburuk yang bisa dimiliki seseorang adalah identitas.”
– hlm. 9
Kalimat tersebut merupakan
paragraf pertama yang terdapat dalam pembukaan cerpen Perkenalan sekaligus kata-kata yang menghiasi di bagian belakang cover
buku. Kutipan yang merupakan kata-kata terakhir yang diutarakan Bong kepada
Harumi, seorang gadis yang jengah dengan masa lalunya yang kelam sebab terjadi pertikaian
antaretnis di wilayahnya dan melampiaskannya dengan bercerita melalui tubuh
seorang siswa di salah satu sekolah. Saya tak punya tubuh, meski saya punya
pesan, ujar Harumi dalam cerpen tersebut.
Selain cerpen Perkenalan, ada beberapa cerpen di
Metafora Padma yang aku gemari. Beberapa di antaranya adalah Hanya Pantai yang Mengerti, Suatu Sore, dan Solilokui Natalia.
“Penyelam andal akan berkelana dari satu laut ke laut lain. Tapi seseorang
yang jatuh cinta akan selalu kembali ke laut yang sama.” – hlm. 48
Kutipan di atas merupakan inti
dari perjalanan jalinan cinta Gru dan Rui yang terpatut usia dan status. Gabungan
antara kesepian, hening, dan resah yang melahirkan sebuah kondisi untuk
melampiaskan amarah dalam pergolakan rumah tangga.
“Manusia takut pada ulat bulu. Manusia takut pada Tuhan. Ulat bulu
adalah Tuhan.” – hlm. 118
Premis yang cukup dapat membuat
kalian memiringkan kepala ke kanan. Kutipan di atas merupakan cerita absurd nan
menggelitik yang terdapat dalam cerpen Suatu
Sore. Setidaknya itu pendapatku hehe.
“Menurutmu,” katanya usai
beberapa saat, “kenapa ada banyak agama di dunia ini?”
“Ada banyak binatang dan makanan, kenapa tidak boleh ada banyak agama?”
kata Abram. “Manusia selalu butuh alternatif, termasuk cara memandang dan
mengenal Tuhan mereka.” – hlm. 155
Percakapan antara tokoh Natalia
dan Abram dalam cerpen Solilokui Natalia
ini bisa dibilang cukup sensitif, sebab memaparkan mengenai pergulatan batin
sosok Natalia dalam menimbang suatu agama.
Secara keseluruhan, dapat
dikatakan bahwa cerita-cerita yang terkandung di dalam buku tersebut adalah
cerita yang miris. Beberapa cerita menyinggung persoalan agama, cinta yang
pelik, bahkan mengenai sejarah kelam. Bernard sendiri mengaku bahwa buku ini secara
tak langsung mengisyaratkan tentang konflik antaretnis tahun 1997 yang terjadi di
Kalimantan Barat.
Hal ini pun terlukis pada bagian
gambar cover yang menampakan setangkai bunga Teratai bercorak merah pilu dengan
lumuran darah. Padma sendiri di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
semacam bunga Teratai, Seroja, dan Lotus yang merupakan tumbuhan langka yang
tidak berbatang atau berdaun, memiliki helai bunga cokelat kemerah-merahan,
berukuran besar, serta terlihat seperti tetiba muncul pada batang tumbuhan
melilit yang disinggahinya.
Bisa dibilang buku kesembilan
karya Bernard Batubara ini sangat jauh berbeda dengan buku yang sebelumnya aku
baca. Jauh lebih menyenangkan sebab tidak hanya memuat persoalan cinta FTV
seperti Surat untuk Ruth, namun ada
hal-hal kecil yang tersirat di dalamnya: sejarah. Pun juga aku senang karena di
dalam buku ini terdapat ilustrasi apik karya Egha Latoya di tiap sesi cerpennya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar