Minggu, 07 Mei 2017

Resensi Kumpulan Cerpen Metafora Padma Karya Bernard Batubara

Haloooo! Entah dapat hidayah dari mana, tetiba aja aku ingin nulis resensi novel dan pas banget sekarang aku baru merampungkan sebuah novel karya salah satu penulis Indonesia. Yap! Kali ini aku mau bahas karya Bernard Batubara dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Metafora Padma.
Kumpulan cerpen Metafora Padma

Ohiya sebelumnya aku mau sedikit banyak cerita. Sebenernya aku beli novel ini udah cukup lama, tepatnya tanggal 01 November 2016. Udah lebih dari 6 bulan yang lalu tapi baru dibaca hahaha (memang, aku pemalas banget huhu). Jadi gini, waktu itu ada olshop buku yang lagi diskon besar-besaran dan langsung deh aku tertarik buat beli buku di sana. Awalnya aku bingung mau beli yang mana dan akhirnya aku memutuskan untuk membeli 10  buku (sombong!) dan 3 di antaranya adalah buku karya penulis Bernard Batubara yang berjudul Milana (2013), Surat untuk Ruth (2014), dan Metafora Padma (2016). Kenapa memilih membeli buku Bernard Batubara? Aku sendiri juga ga ngerti. Nama Bernard Batubara sering aku dengar dari teman-teman sejawat dan itu membuatku penasaran (penasaran sama bukunya, maksudnya).
Lebih lanjut, dari ketiga buku itu, cover Surat untuk Ruth-lah yang paling menyita perhatianku, covernya adalah sehelai kemeja flanel berwarna biru cerah yang nampak teronggok begitu saja. Maka dari itu aku memutuskan untuk membaca novel itu lebih dulu. Tapiiii.... sayangnya sangat tidak sesuai ekspetasiku (Maafkan hamba, ini sekadar pendapat. Siap-siap ditimpuk fans Bernard Batubara). Singkat cerita, selepas membaca novel Surat untuk Ruth aku jadi kehilangan selera untuk membaca karya Bernard Batubara yang lainnya. Ga percaya? Coba deh kalian baca dan beri secercah ulasan di sini.
Namun entah kenapa hari ini aku memutuskan untuk membaca karya Bernard Batubara (lagi) yaitu Metafora Padma. Lantas bagaimana dengan buku ini? Kira-kira sama ga yaaa dengan novel sebelumnya yang aku baca? Hahaha maaf yaaa kebanyakan prolog. Yuk langsung dibaca resensinya!

Judul                           : Metafora Padma
Penulis                         : Bernard Batubara
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama
Editor                          : Siska Yuanita
Desain Sampul            : Eka Kurniawan
Ilustrasi Isi                  : Egha Latoya
Tahun Terbit                : 2016
ISBN                           : 978-602-03-3297-0
Tebal Buku                  : 168 halaman

Buku ini merupakan sebuah kumpulan cerita pendek yang setidaknya memuat 14 cerita di dalamnya, yakni: Perkenalan, Demarkasi, Gelembung, Hanya Pantai yang Mengerti, Rumah, Obat Generik, Percakapan Kala Hujan, Es Krim, Alasan, Metafora Padma, Suatu Sore, Kanibal, Sepenggal Dongeng Bulan Merah, serta Solilokui Natalia. Seperti kumcer pada umumnya, Metafora Padma merupakan judul cerpen kesepuluh yang dijadikan sebagai tajuk buku tersebut.

“Kamu harus tahu, Harumi sayang. Pada zaman ketika kekerasan begitu mudah dilakukan, hal terburuk yang bisa dimiliki seseorang adalah identitas.” – hlm. 9
 
Ilustrasi cerpen Perkenalan
Kalimat tersebut merupakan paragraf pertama yang terdapat dalam pembukaan cerpen Perkenalan sekaligus kata-kata yang menghiasi di bagian belakang cover buku. Kutipan yang merupakan kata-kata terakhir yang diutarakan Bong kepada Harumi, seorang gadis yang jengah dengan masa lalunya yang kelam sebab terjadi pertikaian antaretnis di wilayahnya dan melampiaskannya dengan bercerita melalui tubuh seorang siswa di salah satu sekolah. Saya tak punya tubuh, meski saya punya pesan, ujar Harumi dalam cerpen tersebut.
Selain cerpen Perkenalan, ada beberapa cerpen di Metafora Padma yang aku gemari. Beberapa di antaranya adalah Hanya Pantai yang Mengerti, Suatu Sore, dan Solilokui Natalia.

“Penyelam andal akan berkelana dari satu laut ke laut lain. Tapi seseorang yang jatuh cinta akan selalu kembali ke laut yang sama.” – hlm. 48
 
Ilustrasi cerpen Hanya Pantai yang Mengerti
Kutipan di atas merupakan inti dari perjalanan jalinan cinta Gru dan Rui yang terpatut usia dan status. Gabungan antara kesepian, hening, dan resah yang melahirkan sebuah kondisi untuk melampiaskan amarah dalam pergolakan rumah tangga.

“Manusia takut pada ulat bulu. Manusia takut pada Tuhan. Ulat bulu adalah Tuhan.” – hlm. 118
 
Ilustrasi cerpen Suatu Sore
Premis yang cukup dapat membuat kalian memiringkan kepala ke kanan. Kutipan di atas merupakan cerita absurd nan menggelitik yang terdapat dalam cerpen Suatu Sore. Setidaknya itu pendapatku hehe.

 “Menurutmu,” katanya usai beberapa saat, “kenapa ada banyak agama di dunia ini?”
“Ada banyak binatang dan makanan, kenapa tidak boleh ada banyak agama?” kata Abram. “Manusia selalu butuh alternatif, termasuk cara memandang dan mengenal Tuhan mereka.” – hlm. 155
 
Ilustrasi cerpen Solilokui Natalia
Percakapan antara tokoh Natalia dan Abram dalam cerpen Solilokui Natalia ini bisa dibilang cukup sensitif, sebab memaparkan mengenai pergulatan batin sosok Natalia dalam menimbang suatu agama.
Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa cerita-cerita yang terkandung di dalam buku tersebut adalah cerita yang miris. Beberapa cerita menyinggung persoalan agama, cinta yang pelik, bahkan mengenai sejarah kelam. Bernard sendiri mengaku bahwa buku ini secara tak langsung mengisyaratkan tentang konflik antaretnis tahun 1997 yang terjadi di Kalimantan Barat.
Hal ini pun terlukis pada bagian gambar cover yang menampakan setangkai bunga Teratai bercorak merah pilu dengan lumuran darah. Padma sendiri di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah semacam bunga Teratai, Seroja, dan Lotus yang merupakan tumbuhan langka yang tidak berbatang atau berdaun, memiliki helai bunga cokelat kemerah-merahan, berukuran besar, serta terlihat seperti tetiba muncul pada batang tumbuhan melilit yang disinggahinya.

Bisa dibilang buku kesembilan karya Bernard Batubara ini sangat jauh berbeda dengan buku yang sebelumnya aku baca. Jauh lebih menyenangkan sebab tidak hanya memuat persoalan cinta FTV seperti Surat untuk Ruth, namun ada hal-hal kecil yang tersirat di dalamnya: sejarah. Pun juga aku senang karena di dalam buku ini terdapat ilustrasi apik karya Egha Latoya di tiap sesi cerpennya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar