Rabu, 19 April 2017

KEBIJAKSANAAN TANPA ARTI DALAM NASKAH MASTODON DAN BURUNG KONDOR KARYA W.S. RENDRA

Dalam dunia kesusastraan Indonesia, siapa yang tidak mengenal sosok Willibrordus Surendra Bawana Rendra atau yang lebih akrab dikenal dengan sebutan W.S. Rendra. Sastrawan yang sejak duduk di bangku SMP telah menulis berbagai macam karya sastra; seperti puisi, cerita pendek, serta naskah drama. Dari sekian banyak karya sastra yang ia tulis, terutama karya drama, salah satu naskah W.S. Rendra yang fenomenal adalah naskah Mastodon dan Burung Kondor.

Naskah ini pertama kali dipentaskan oleh Bengkel Teater Yogyakarta pada 15 Desember 1973 yang berdasarkan pada naskah yang belum diterbitkan dan tersimpan di Bank Naskah Dewan Kesenian Jakarta dan disutradai sendiri oleh sang sastrawan. Namun, pada Januari tahun 2012 naskah drama ini kembali dipentaskan di Universitas Padjajaran dan disutradai langsung oleh istri mendiang W.S. Rendra, Ken Zuraida.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah Mastodon sendiri memiliki arti binatang purba yang merupakan mamalia raksasa, sesuatu yang serba besar. Hal ini dijadikan Rendra sebagai umpama atas pemerintahan di negara tersebut yang selalu berkata akan mengatasnamakan kepentingan rakyat untuk pembangunan negara namun kenyataannya tidak sesuai. Sedangkan burung Kondor sendiri memiliki arti burung buas besar di pegunungan Andes dengan leher dan kepala tidak berbulu. Dalam naskah ini, burung Kondor dijadikan sebagai simbol rakyat negara tersebut yang menderita akibat terkekang aturan dan kebijaksanan yang dibuat oleh pemerintah. Dua hal yang digambarkan saling bertentangan dan berbeda ideologi.
Dalam naskah ini, diceritakan seorang mahasiswa bernama Juan Frederico yang penuh dengan idealisme, bersama dengan rekan-rekannya sesama mahasiswa bertekad untuk melakukan perubahan terhadap bangsanya. Mereka menentang sistem pemerintahan yang ada dinegaranya, sistem yang hanya menguntungkan kalangan atas namun terus-menerus menggadangkan kesejahteraan bersama demi pembangunan. Lebih lanjut, Juan Frederico bersama rekan-rekannya menyusun strategi dengan merekrut Jose Karosta untuk melakukan aksi untuk menjaga semangat massa dengan membuat sajak-sajak dan syair pergerakan.
Juan Frederico mengkritik bahwa selama ini kampusnya hanya mendidik untuk mencetak generasi yang hanya manut pada sistem dan kebijaksanaan pemerintah dan tidak diberikan kebebasan mengkritik untuk hal yang lebih baik kedepannya, pemerintah malah menganggap itu sebagai sebuah ancaman dan pemberontakan. Di kampus tidak pernah diajarkan nilai-nilai untuk menyusun kebijakan, mengolah kebijakan, serta menguji kebijaksanaan. 3 hal yang dapat membuat kalangan mahasiswa menjadi pandai mengkritik dalam hal yang positif untuk kedepannya. Kebebasan berpendapat pun tidak dihiraukan. Maka dari itu, Juan Frederico bersama rekan-rekannya sesama mahasiswa yang berasal dari berbagai provinsi, menjadi utusan dari rakyat sebagai wakil pendobrak revolusi kekuasaan di negaranya.
Salah satu orang dibalik kekuasaan pemerintahan adalah Max Carlos, yaitu seorang pemimpin yang tengah berada dalam masa jayanya. Kejayaan yang harus dibayar dengan penderitaan dan kekacauan rakyat jelata. Pembangunan pabrik yang diusulkan akan mengurangi jumlah pengangguran, tak khayal hanya sebuah pemanis bibir belaka. Diceritakan bahwa Max Carlos menangkap dan memenjarakan Jose Karosta dengan alih-alih karena Jose Karosta telah mengganggu semangat berjuang untuk pembangunan dengan sajak-sajak dan syair yang dibuatnya.
.           Jose Karosta merupakan sosok yang dengan keras menolak adanya lembaga-lembaga agama yang hanya menjadi lahan bisnis dibalik sabda-sabda agung yang diujarkan. Sosok Jose Karosta merupakan salah satu dari simbol burung Kondor yang menjadi saksi atas kekacauan yang terjadi di negaranya. Dengan sajak-sajak dan syairnya, ia menawarkan nilai-nilai kemanusiaan untuk mengobarkan semangat dan membuat ‘melek’ masyarakatnya tentang kesadaran agar seluruh masyarakat sadar atas apa yang terjadi di negaranya. Tidak diam saja dan lantas bergerak menuju perubahan.
Lebih lanjut, terjadinya perbedaan pendapat antara Jose Karosta dengan Juan Frederico. Jose Karosta mengatakan bahwa yang harus dimiliki masyarakatnya adalah kematangan kesadaran akan sebuah perubahan. Revolusi memang penting, tapi awal mulanya harus didahului dengan kesadaran mutlak oleh seluruh masyarakat. Menurutnya, revolusi dapat mengakibatkan kerugian besar baik di bidang ekonomi maupun sosial. Seperti terjadinya kerusuhan di mana-mana, tempat tinggal masyarakat yang habis ditelan si jago merah, ketakutan di sana-sini, lumpuhnya sebagian sumber penggerak perekonomian masyarakat, dan lain sebagainya. Hal itu menjadi bayaran yang tidak sepadan untuk sebuah revolusi karena dibutuhkan waktu yang lama untuk membuat semua kembali ke kehidupan normal kembali.
Lain halnya dengan Juan Frederico yang menganggap bahwa yang dibutuhkan negara mereka saat ini adalah sebuah revolusi. Revolusi menjadi satu-satunya pilihan yang tepat untuk membawa perubahan bagi bangsanya ke arah yang jauh lebih baik lagi. Juan Frederico dan rekan-rekannya sesama mahasiswa menamakannya dengan sebutan Revolusi Semesta Bersatu.
Walaupun naskah ini telah dibuat lebih dari 40 tahun silam, namun penceritaannya masih sangat relevan dengan keadaan bangsa Indonesia pada saat ini. Cerita Mastodon dan Burung Kondor seakan-akan menjadi cerminan atas apa yang tengah terjadi di Indonesia. Dialog-dialog yang terpampang dalam naskah tersebut merupakan teguran kepada para penguasa pemerintahan agar lebih peka terhadap segala sesuatu yang dirasakan oleh rakyatnya. Seperti pada Mei tahun 1998, Indonesia mengalami penggulingan kekuasaan karena kekecewaan rakyat Indonesia terhadap sistem pemerintahan pada zaman tersebut. Krisis moneter yang terjadi, korupsi yang semakin menjalar, tingkat kesejahteraan yang kian hari makin menyedihkan, dan lain sebagainya. Sebuah peringatan besar terhadap orang-orang pemerintahan agar benar-benar memperjuangkan kesejahteraan seluruh rakyat yang diwakilinya.

1 komentar: