Jumat, 11 Maret 2016

Ada Dalam Tiada


Sedikit demi sedikit aku mulai lelah
dengan rasa sakit yang sudah biasa ini...
Menekan bahuku sehingga aku terjatuh...
Dunia mengatakan
kalau aku tidak boleh bermimpi...
Bahkan aku tidak diizinkan untuk
memiliki harapan ataupun cintamu...
Dan walau bagaimanapun
aku mencoba untuk menyerah...
Mataku terus saja tertuju padamu
dan terus bermimpi lagi...

            “Hufftt,” aku menghela nafas dan kembali meletakkan pulpenku. Rasanya sudah cukup bergalauria di malam ini. Aku harus tidur. Setidaknya kegalauanku menghasilkan sebuah karya. Yah, walaupun hanya sebait kata.

            Akupun beranjak menuju tempat tidurku. Rasanya nyaman sekali. Empuk. Mungkin aku sudah terlalu lelah dengan semua masalah ini. Entahlah, aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa demi menyelesaikan peliknya persoalan yang sedang menjamahku. Yang bisa kulakukan hanya menikmatinya dalam kegalauan.

***

Pukul 8 pagi.
            Untung saja hari ini hari Minggu dan aku sedang datang bulan, jadi aku tidak perlu bangun pagi untuk shalat Subuh dan pergi kuliah. Tapi sayangnya nanti siang aku harus pergi untuk bekerja partime di sebuah restoran yang ada di mall Central Park. Tidak ada waktu untuk rehat sejenak. Huft.

            “Kikan berangkat dulu ya, Ma.” kataku seraya mencium pipi mama sebelum aku berangkat kerja, setelah itu aku salim pada mama.

            “Hati-hati ya, Sayang. Jangan ngebut naik motornya.” ujar mama yang masih sibuk dengan masakannya di dapur.

            “Iya, Ma. Assalamualaikum.” Sahutku lalu segera berlalu tanpa menunggu balasan salam dari mama.

***
            Di tempat kerja banyak yang mengatakan kalau aku sedari tadi terus melamun. Sampai-sampai managerku sempat menegurku beberapa kali. Aku jadi tidak enak, takut dipecat.

            Kemudian aku mengantarkan pesanan 2 piring sushi, teriyaki, segelas jus orange dan milkshake. Kata sang koki, itu pesanan di meja 03. Aku segera kesana.

            Sesampainya di sana, aku terkejut karena yang berada di meja nomor 03 adalah Haru, mantan pacarku. Dulu, kami sempat merencanakan sebuah pertunangan akan tetapi belum terwujud, hubungan kami berakhir begitu saja, selesai tanpa alasan yang jelas. Itulah sebab mengapa aku belakangan ini sering termenung dan galau karenanya.

            Kulihat di sana ia bersama seorang wanita, tapi siapa? Ada rasa sesak yang mulai menyelimuti. Aku tahu pastinya wanita itu bukan saudaranya. Karena aku mengenal baik setiap anggota keluarga Haru, baik itu saudara kandung ataupun sepupunya. Apa mungkin pacar barunya? Mungkin saja.

            Mau tidak mau aku harus ke sana untuk mengantarkan nampan ini. Aku harus profesional dalam bekerja. Akhirnya aku memberanikan diri mendekat ke meja itu.

            “Permisi, ini pesanannya, Mas.” kataku sedikit lirih.

            “Iya, terima kasih. Taruh saja di situ.” Sambil menunjuk ke arah meja lalu melanjutkan kembali perbincangannya dengan wanita itu. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Dia tak menghiraukanku.

            Aku hanya menangis dalam diam. Dia seakan tak mengenalku atau dia sedang berpura-pura tidak mengenalku karena ada wanita itu? Dengan segera aku menata semua makanan itu kemudian langsung melenggang pergi. Sakit.

***

            Di rumah, aku kembali termenung, tapi yang terpikirkan malah reka ulang kejadian tadi siang di restoran. Aku tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Haru padaku. Dia seenaknya menyudahi hubungan kami tanpa alasan yang pasti. Sayangnya aku sudah terlalu cinta padanya. Aku galau.

            Aku jadi teringat kembali masa dimana ketika aku masih berpacaran dengannya. Dia pernah memberiku seikat bunga mawar berwarna merah pekat dengan sebuah kalung liontin di dalamnya. Dia memakaikannya di leherku yang jenjang.

Pada saat kami pergi liburan ke gunung Emas, dia sengaja memakaikan jaketnya ke tubuhku, katanya agar aku tidak kedinginan. Padahal aku dapat dengan jelas melihat kalau dia sedang menahan dingin yang menusuk di setiap pori-pori kulitnya. Aku terkesima.

            Juga pada saat dia menembakku. Dia menyatakan cintanya di tengah lapangan sekolah, berteriak memanggil-manggil namaku. Saat aku berada dihadapannya. Layaknya seorang arjuna yang terasuki jiwa pujangga, ia membacakan sebuah puisi karyanya sendiri. Puisi yang isinya tertuang semua perasaannya kepadaku. Aku malu sekaligus senang.

            Saat dia mengajakku jalan di sebuah mall kemudian memberikanku sepotong cupcake, dan ketika aku makan, di dalamnya terdapat sebuah cincin. Aku hanya terpaku. Lalu dia memakaikan cincin itu seraya berkata “Kamu mau kan tunangan sama aku?” aku masih ingat betul semuanya.

            Tak terasa ada buliran air bening yang meluncur dari mata kiriku, kemudian menyusul pada mata kanan. Aku ingin kenangan itu kembali lagi. Bukan kenangan yang ada hanya untuk dikenang.

Semua orang memberiku nasihat untuk cepat-cepat move on, tak terkecuali mama. Ini sudah memasuki bulan ke-5 aku putus dengan Haru, tapi aku masih saja merisaukannya. Aku juga tidak tahu kenapa, mungkin karena sudah terlalu cinta.

Setidaknya jika kita tak bisa bersama lagi, aku masih ingin menjalin hubungan baik dengannya. Bukan malah seperti orang yang tak saling mengenal. Bukankah dulu cinta yang sama pernah membuat kita menjadi satu?

Berbagai cara kulakukan untuk melupakannya. Mulai dengan membuat diriku sesibuk mungkin, tapi saking sibuknya aku malah kelelahan dan ketika istirahat, aku malah memikirkannya lagi, dia sedang apa dan di mana. Aku juga sudah mencoba menjalin hubungan pertemanan dengan laki-laki lain yang nampaknya tertarik padaku. Tapi terkadang hal-hal romantis yang mereka lakukan malah membuatku teringat lagi pada Haru. Namanya selalu terngiang ditelingaku. Setiap saat.

Apa yang terjadi padaku? Aku bungkam, tak bisa menjawab. Kurasa cintaku padanya sudah terlalu dalam dan semakin dalam. Bahkan aku bersedia jika dijadikan selingkuhan ataupun istri keduanya kelak. Sepertinya aku sudah mulai gila.

Dan pada saat yang sudah tak dapat ku toleransi lagi, akhirnya aku menciptakan sosok Haru pada setiap laki-laki yang kukenal. Walaupun bukan Haru seutuhnya, setidaknya ada sekilas bayangan Haru yang dapat kulihat setiap saat. Haru yang ada dalam tiada.


“Haruuu...........”

1 komentar: