Sedikit
demi sedikit aku mulai lelah
dengan
rasa sakit yang sudah biasa ini...
Menekan
bahuku sehingga aku terjatuh...
Dunia
mengatakan
kalau
aku tidak boleh bermimpi...
Bahkan
aku tidak diizinkan untuk
memiliki
harapan ataupun cintamu...
Dan
walau bagaimanapun
aku
mencoba untuk menyerah...
Mataku
terus saja tertuju padamu
dan
terus bermimpi lagi...
“Hufftt,”
aku menghela nafas dan kembali meletakkan pulpenku. Rasanya sudah cukup
bergalauria di malam ini. Aku harus tidur. Setidaknya kegalauanku menghasilkan
sebuah karya. Yah, walaupun hanya sebait kata.
Akupun
beranjak menuju tempat tidurku. Rasanya nyaman sekali. Empuk. Mungkin aku sudah
terlalu lelah dengan semua masalah ini. Entahlah, aku sendiri tidak tahu harus
berbuat apa demi menyelesaikan peliknya persoalan yang sedang menjamahku. Yang
bisa kulakukan hanya menikmatinya dalam kegalauan.
***
Pukul 8
pagi.
Untung
saja hari ini hari Minggu dan aku sedang datang bulan, jadi aku tidak perlu
bangun pagi untuk shalat Subuh dan pergi kuliah. Tapi sayangnya nanti siang aku
harus pergi untuk bekerja partime di sebuah restoran yang ada di mall Central
Park. Tidak ada waktu untuk rehat sejenak. Huft.
“Kikan
berangkat dulu ya, Ma.” kataku seraya mencium pipi mama sebelum aku berangkat kerja,
setelah itu aku salim pada mama.
“Hati-hati
ya, Sayang. Jangan ngebut naik motornya.” ujar mama yang masih sibuk dengan
masakannya di dapur.
“Iya,
Ma. Assalamualaikum.” Sahutku lalu segera berlalu tanpa menunggu balasan salam
dari mama.
***
Di
tempat kerja banyak yang mengatakan kalau aku sedari tadi terus melamun.
Sampai-sampai managerku sempat menegurku beberapa kali. Aku jadi tidak enak,
takut dipecat.
Kemudian
aku mengantarkan pesanan 2 piring sushi, teriyaki, segelas jus orange dan milkshake.
Kata sang koki, itu pesanan di meja 03. Aku segera kesana.
Sesampainya
di sana, aku terkejut karena yang berada di meja nomor 03 adalah Haru, mantan
pacarku. Dulu, kami sempat merencanakan sebuah pertunangan akan tetapi belum
terwujud, hubungan kami berakhir begitu saja, selesai tanpa alasan yang jelas.
Itulah sebab mengapa aku belakangan ini sering termenung dan galau karenanya.
Kulihat
di sana ia bersama seorang wanita, tapi siapa? Ada rasa sesak yang mulai
menyelimuti. Aku tahu pastinya wanita itu bukan saudaranya. Karena aku mengenal
baik setiap anggota keluarga Haru, baik itu saudara kandung ataupun sepupunya.
Apa mungkin pacar barunya? Mungkin saja.
Mau
tidak mau aku harus ke sana untuk mengantarkan nampan ini. Aku harus
profesional dalam bekerja. Akhirnya aku memberanikan diri mendekat ke meja itu.
“Permisi,
ini pesanannya, Mas.” kataku sedikit lirih.
“Iya,
terima kasih. Taruh saja di situ.” Sambil menunjuk ke arah meja lalu
melanjutkan kembali perbincangannya dengan wanita itu. Entah apa yang sedang
mereka bicarakan. Dia tak menghiraukanku.
Aku
hanya menangis dalam diam. Dia seakan tak mengenalku atau dia sedang
berpura-pura tidak mengenalku karena ada wanita itu? Dengan segera aku menata
semua makanan itu kemudian langsung melenggang pergi. Sakit.
***
Di
rumah, aku kembali termenung, tapi yang terpikirkan malah reka ulang kejadian
tadi siang di restoran. Aku tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Haru
padaku. Dia seenaknya menyudahi hubungan kami tanpa alasan yang pasti. Sayangnya
aku sudah terlalu cinta padanya. Aku galau.
Aku
jadi teringat kembali masa dimana ketika aku masih berpacaran dengannya. Dia
pernah memberiku seikat bunga mawar berwarna merah pekat dengan sebuah kalung
liontin di dalamnya. Dia memakaikannya di leherku yang jenjang.
Pada
saat kami pergi liburan ke gunung Emas, dia sengaja memakaikan jaketnya ke
tubuhku, katanya agar aku tidak kedinginan. Padahal aku dapat dengan jelas
melihat kalau dia sedang menahan dingin yang menusuk di setiap pori-pori kulitnya.
Aku terkesima.
Juga
pada saat dia menembakku. Dia menyatakan cintanya di tengah lapangan sekolah,
berteriak memanggil-manggil namaku. Saat aku berada dihadapannya. Layaknya
seorang arjuna yang terasuki jiwa pujangga, ia membacakan sebuah puisi karyanya
sendiri. Puisi yang isinya tertuang semua perasaannya kepadaku. Aku malu
sekaligus senang.
Saat
dia mengajakku jalan di sebuah mall kemudian memberikanku sepotong cupcake, dan ketika aku makan, di
dalamnya terdapat sebuah cincin. Aku hanya terpaku. Lalu dia memakaikan cincin
itu seraya berkata “Kamu mau kan tunangan sama aku?” aku masih ingat betul
semuanya.
Tak
terasa ada buliran air bening yang meluncur dari mata kiriku, kemudian menyusul
pada mata kanan. Aku ingin kenangan itu kembali lagi. Bukan kenangan yang ada
hanya untuk dikenang.
Semua
orang memberiku nasihat untuk cepat-cepat move
on, tak terkecuali mama. Ini sudah memasuki bulan ke-5 aku putus dengan
Haru, tapi aku masih saja merisaukannya. Aku juga tidak tahu kenapa, mungkin karena
sudah terlalu cinta.
Setidaknya
jika kita tak bisa bersama lagi, aku masih ingin menjalin hubungan baik
dengannya. Bukan malah seperti orang yang tak saling mengenal. Bukankah dulu
cinta yang sama pernah membuat kita menjadi satu?
Berbagai
cara kulakukan untuk melupakannya. Mulai dengan membuat diriku sesibuk mungkin,
tapi saking sibuknya aku malah kelelahan dan ketika istirahat, aku malah
memikirkannya lagi, dia sedang apa dan di mana. Aku juga sudah mencoba menjalin
hubungan pertemanan dengan laki-laki lain yang nampaknya tertarik padaku. Tapi
terkadang hal-hal romantis yang mereka lakukan malah membuatku teringat lagi
pada Haru. Namanya selalu terngiang ditelingaku. Setiap saat.
Apa yang
terjadi padaku? Aku bungkam, tak bisa menjawab. Kurasa cintaku padanya sudah
terlalu dalam dan semakin dalam. Bahkan aku bersedia jika dijadikan selingkuhan
ataupun istri keduanya kelak. Sepertinya aku sudah mulai gila.
Dan pada
saat yang sudah tak dapat ku toleransi lagi, akhirnya aku menciptakan sosok
Haru pada setiap laki-laki yang kukenal. Walaupun bukan Haru seutuhnya,
setidaknya ada sekilas bayangan Haru yang dapat kulihat setiap saat. Haru yang
ada dalam tiada.
“Haruuu...........”
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus