Kamis, 12 Januari 2017

Ragam Bentuk Penindasan dalam Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dengan Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Sadawi


Kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan sejak zaman dulu sampai sekarang nampaknya masih menjadi topik yang tiada habisnya untuk diperbincangkan. Banyak perdebatan yang terjadi akibat ketimpangan antara perempuan dan laki-laki dari berbagai aspek. Berbagai perlawanan pun dijalankan pihak perempuan demi mengusir tindakan penindasan yang dilakukan laki-laki; mulai dari penindasan kebudayaan, penindasan pendidikan, penindasan norma, penindasan institusi pernikahan, penindasan hukum, dan lain sebagainya. Hal ini pun tergambar melalui novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dan novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Sadawi.


Ragam bentuk penindasan terhadap perempuan yang dialami oleh tokoh perempuan di dalam kedua novel tersebut. Mulai dari penindasan dalam konteks kebudayaan yang sangat terlihat pada novel Gadis Pantai karya Premoedya Ananta Toer, di mana terdapat jarak antara Bendoro yang merupakan seorang Priyai dengan si Gadis Pantai yang hanya seorang hamba sahaya. Hal ini didukung dengan adanya kutipan berikut:

“Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu: kini ia bukan anak bapaknya lagi. ia bukan anak emanya lagi. kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup.”
(Gadis Pantai, hlm. 12)

“Kalau ada nasib, bapak suka jadi priyai?”
“Itulah yang dicitakan setiap orang.”
“Kalau bapak tahu bagaimana mereka hidup di sana...”
“Setidak-tidaknya mereka tak mengadu untung setiap hari. Setidak-tidaknya mereka tidak berlumuran kotor setiap hari.”
(Gadis Pantai, hlm. 181)

“Apa salahku?”
“Salah Mas Nganten seperti sahaya, salah kita, berasal dari orang kebanyakan.”
“Lantas Mbok, lantas?
“Kita sudah ditakdirkan oleh orang yang kita puji dan kita sembah buat jadi pasangan orang rendahan. Kalau tidak ada orang-orang rendahan, tentu tidak ada orang atasan.”
“Aku ini, Mbok aku ini orang apa? Rendahan? Atasan?”
“Rendahan Mas Nganten, maafkan sahayaa, tapi menumpang di tempat atasan.”
“Jadi apa yang mesti kuperbuat?”
“Ah, beberapa kali sudah sahaya katakan. Mengabdi Mas Nganten. Sujud, takluk sampai tanah pada Bendoro.”
(Gadis Pantai, hlm. 99)



Dari macam-macam kutipan tersebut, sangat terlihat perbedaan tingkat sosial antara Gadis Pantai dengan sang Bendoro yang seorang priyai yang merupakan orang kalangan atas yang mesti dihormati dan dilayani dengan baik. Seorang rendahan seperti Gadis Pantai hanya boleh manut pada apa yang dikehendaki oleh sang Bendoro. Tidak boleh menolak, apalagi melakukan perlawanan. Sama halnya dengan Firdaus, tokoh dalam Perempuan di Titik Nol yang berlatarkan di Negeri Arab. Hal ini di tergambar pada kutipan:

“Jika salah satu anak perempuan mati, ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti itu ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur.
(Perempuan di Titik Nol, hlm. 26)

            Budaya patriarki di Negara Arab sangat tergambar jelas dari kutipan di atas. Firdaus yang di mana sejak masih belia hidup di tengah keluarga yang miskin, ia sudah disuguhkan dengan pemandangan bahwasanya laki-laki merupakan raja daripada istri dan anak-anaknya.
Lebih lanjut, kedua tokoh dalam kedua novel tersebut juga mengalami penindasan dalam hal pendidikan. Di dalam masyarakat, peran laki-laki dengan perempuan seperti di ‘kotak-kotakan’. Perempuan dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi karena pola pikir masyarakat yang menyimpulkan bahwa pada akhirnya perempuan hanya akan mengurusi urusan dapur. Pendidikan dirasa bukan merupakan hal yang penting bagi perempuan, maka dari itu banyak perempuan yang hanya memiliki pendidikan yang terbatas. Hal ini pun tergambar dari novel Gadis Pantai dan Perempuan di Titik Nol. Setelah membaca novel tersebut, kita akan mengetahui bahwasanya tokoh Gadis Pantai telah dinikahkan dengan Bendoro pada usia yang masih sangat belia, yaitu pada usia 14 tahun. Tak jauh berbeda dengan novel Perempuan di Titik Nol, tokoh Firdaus digambarkan hanya mengecap pendidikan dalam taraf sekolah menengah. Dan atas dasar ketidakmampuan paman Firdaus untuk melanjutkan pendidikan Firdaus, akhirnya Firdaus dinikahkan dengan seorang lelaki tua berumur 60-an yang bernama Syeikh Mahmoud. Sangat disayangkan, penindasan pendidikan yang terjadi pada kedua tokoh malah mengantarkan keduanya ke dalam penindasan baru, yaitu penindasan pernikahan.
Di samping itu, penindasan lainnya seperti penindasan norma, penindasan hukum, penindasan lelaki, dan ragam penindasan lainnya juga tersirat di dalam kedua novel tersebut. Pada akhirnya berbagai penindasan itulah yang menjadi acuan bagi kedua tokoh untuk melakukan perlawanan dalam menumpas dominasi budaya patriarki yang ada.
Namun sangat disayangkan, bentuk perlawanan yang dilakukan oleh Gadis Pantai dan Firdaus tampaknya tidak mengalami akhir yang menyenangkan. Setelah melahirkan, tiga bulan kemudian tokoh Gadis Pantai diceraikan dan dikembalikan pada kedua orang tuanya karena bayi yang dilahirkannya bukanlah bayi laki-laki, seperti yang selama ini didambakan Bendoro. Pun begitu pada tokoh Firdaus yang akhirnya harus menerima hukuman mati walaupun sebenarnya ia dapat mengajukan pengampunan. Namun ia lebih memilih mempertahankan harga dirinya. Ia tetap teguh pada prinsipnya yang mengatakan bahwa:


“Setiap orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan.” (Perempuan di Titik Nol, hlm. 169)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar