Kesetaraan
antara laki-laki dengan perempuan sejak zaman dulu sampai sekarang nampaknya
masih menjadi topik yang tiada habisnya untuk diperbincangkan. Banyak
perdebatan yang terjadi akibat ketimpangan antara perempuan dan laki-laki dari
berbagai aspek. Berbagai perlawanan pun dijalankan pihak perempuan demi
mengusir tindakan penindasan yang dilakukan laki-laki; mulai dari penindasan
kebudayaan, penindasan pendidikan, penindasan norma, penindasan institusi
pernikahan, penindasan hukum, dan lain sebagainya. Hal ini pun tergambar
melalui novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dan novel Perempuan di
Titik Nol karya Nawal El-Sadawi.
Ragam bentuk
penindasan terhadap perempuan yang dialami oleh tokoh perempuan di dalam kedua
novel tersebut. Mulai dari penindasan dalam konteks kebudayaan yang sangat
terlihat pada novel Gadis Pantai karya Premoedya Ananta Toer, di mana terdapat
jarak antara Bendoro yang merupakan seorang Priyai dengan si Gadis Pantai yang
hanya seorang hamba sahaya. Hal ini didukung dengan adanya kutipan berikut:
“Kemarin malam ia telah dinikahkan.
Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu: kini ia bukan anak bapaknya
lagi. ia bukan anak emanya lagi. kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang
yang tak pernah dilihatnya seumur hidup.”
(Gadis
Pantai, hlm. 12)
“Kalau
ada nasib, bapak suka jadi priyai?”
“Itulah
yang dicitakan setiap orang.”
“Kalau
bapak tahu bagaimana mereka hidup di sana...”
“Setidak-tidaknya mereka tak
mengadu untung setiap hari. Setidak-tidaknya mereka tidak berlumuran kotor
setiap hari.”
(Gadis Pantai,
hlm. 181)
“Apa
salahku?”
“Salah Mas Nganten seperti sahaya,
salah kita, berasal dari orang kebanyakan.”
“Lantas
Mbok, lantas?
“Kita sudah ditakdirkan oleh orang
yang kita puji dan kita sembah buat jadi pasangan orang rendahan. Kalau tidak
ada orang-orang rendahan, tentu tidak ada orang atasan.”
“Aku
ini, Mbok aku ini orang apa? Rendahan? Atasan?”
“Rendahan Mas Nganten, maafkan
sahayaa, tapi menumpang di tempat atasan.”
“Jadi
apa yang mesti kuperbuat?”
“Ah, beberapa kali sudah sahaya
katakan. Mengabdi Mas Nganten. Sujud, takluk sampai tanah pada Bendoro.”
(Gadis Pantai,
hlm. 99)
Dari macam-macam
kutipan tersebut, sangat terlihat perbedaan tingkat sosial antara Gadis Pantai
dengan sang Bendoro yang seorang priyai yang merupakan orang kalangan atas yang
mesti dihormati dan dilayani dengan baik. Seorang rendahan seperti Gadis Pantai
hanya boleh manut pada apa yang dikehendaki oleh sang Bendoro. Tidak boleh
menolak, apalagi melakukan perlawanan. Sama halnya dengan Firdaus, tokoh dalam
Perempuan di Titik Nol yang berlatarkan di Negeri Arab. Hal ini di tergambar
pada kutipan:
“Jika
salah satu anak perempuan mati, ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan
membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti itu ia lakukan
setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu
kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur.”
(Perempuan di Titik Nol, hlm. 26)
Budaya
patriarki di Negara Arab sangat tergambar jelas dari kutipan di atas. Firdaus
yang di mana sejak masih belia hidup di tengah keluarga yang miskin, ia sudah
disuguhkan dengan pemandangan bahwasanya laki-laki merupakan raja daripada
istri dan anak-anaknya.
Lebih lanjut,
kedua tokoh dalam kedua novel tersebut juga mengalami penindasan dalam hal
pendidikan. Di dalam masyarakat, peran laki-laki dengan perempuan seperti di
‘kotak-kotakan’. Perempuan dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi
karena pola pikir masyarakat yang menyimpulkan bahwa pada akhirnya perempuan
hanya akan mengurusi urusan dapur. Pendidikan dirasa bukan merupakan hal yang
penting bagi perempuan, maka dari itu banyak perempuan yang hanya memiliki
pendidikan yang terbatas. Hal ini pun tergambar dari novel Gadis Pantai dan
Perempuan di Titik Nol. Setelah membaca novel tersebut, kita akan mengetahui
bahwasanya tokoh Gadis Pantai telah dinikahkan dengan Bendoro pada usia yang
masih sangat belia, yaitu pada usia 14 tahun. Tak jauh berbeda dengan novel
Perempuan di Titik Nol, tokoh Firdaus digambarkan hanya mengecap pendidikan
dalam taraf sekolah menengah. Dan atas dasar ketidakmampuan paman Firdaus untuk
melanjutkan pendidikan Firdaus, akhirnya Firdaus dinikahkan dengan seorang
lelaki tua berumur 60-an yang bernama Syeikh Mahmoud. Sangat disayangkan,
penindasan pendidikan yang terjadi pada kedua tokoh malah mengantarkan keduanya
ke dalam penindasan baru, yaitu penindasan pernikahan.
Di samping itu,
penindasan lainnya seperti penindasan norma, penindasan hukum, penindasan
lelaki, dan ragam penindasan lainnya juga tersirat di dalam kedua novel
tersebut. Pada akhirnya berbagai penindasan itulah yang menjadi acuan bagi
kedua tokoh untuk melakukan perlawanan dalam menumpas dominasi budaya patriarki
yang ada.
Namun sangat
disayangkan, bentuk perlawanan yang dilakukan oleh Gadis Pantai dan Firdaus
tampaknya tidak mengalami akhir yang menyenangkan. Setelah melahirkan, tiga
bulan kemudian tokoh Gadis Pantai diceraikan dan dikembalikan pada kedua orang
tuanya karena bayi yang dilahirkannya bukanlah bayi laki-laki, seperti yang
selama ini didambakan Bendoro. Pun begitu pada tokoh Firdaus yang akhirnya
harus menerima hukuman mati walaupun sebenarnya ia dapat mengajukan pengampunan.
Namun ia lebih memilih mempertahankan harga dirinya. Ia tetap teguh pada
prinsipnya yang mengatakan bahwa:
“Setiap
orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan
daripada mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan.”
(Perempuan di Titik Nol, hlm. 169)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar